Laku Wening: Tradisi Mubeng Benteng Sambut 1 Suro di Kraton Yogyakarta
Yogyakarta, 26 Juni 2025 – Dalam rangka menyambut malam 1 Suro dalam penanggalan Jawa, Kraton Yogyakarta kembali menyelenggarakan prosesi sakral tahunan bertajuk “Segoro Bening, Laku Wening: Lampah Mubeng Benteng.” Kegiatan ini merupakan bagian dari ritual spiritual yang mengandung makna perenungan dan penyucian diri dalam menyongsong tahun baru Jawa.
Sebelum prosesi inti dimulai tepat pukul 24.00 WIB, pada tahun 2024 lalu, tradisi ini diawali dengan kegiatan pembuka yang berlangsung pada pukul 19.30 WIB di Pelataran Kamandungan Lor (Keben). Di tempat ini, sekelompok Abdi Dalem dari berbagai tepas dan kawedanan berkumpul dalam suasana hening dan khidmat. Mereka menyimak lantunan tembang Macapat, yang berisi syair-syair doa dalam bahasa Jawa—sebuah pengantar batin menuju laku spiritual yang lebih dalam.
Puncak prosesi berlangsung saat lonceng jam di kompleks Keben dibunyikan sebanyak 12 kali, menandakan masuknya tanggal 1 Suro. Seluruh peserta—terdiri dari Abdi Dalem Kraton Yogyakarta dan masyarakat umum—memulai laku wening, yaitu berjalan kaki sejauh kurang lebih 5 kilometer mengelilingi benteng Keraton tanpa berbicara satu kata pun.
Rute perjalanan dimulai dari Panggung Krapyak, melintasi Jl. KH Ali Maksum – Jl. DI Panjaitan – Jl. Brigjen Katamso – Jl. Ibu Ruswo – Jl. Alun-alun Utara – Jl. Kauman – Jl. H. Agus Salim – Jl. KH Wahid Hasyim – Jl. Suryowijayan – Jl. MT Haryono – dan berakhir di Plengkung Gading.
Menurut KRT Kusumonegoro, arah berjalan yang berlawanan dengan jarum jam menyimbolkan keberanian untuk mengambil langkah yang berbeda dan melakukan perubahan di tahun yang baru. “Manusia harus berani mengambil langkah yang berbeda di tahun baru supaya tidak kembali melakukan kesalahan yang sama,” jelasnya. Prosesi ini tidak hanya menjadi bentuk refleksi spiritual, tetapi juga upaya untuk melepaskan segala yang kurang baik di tahun lalu dan menyambut harapan baru.
Tradisi ini diprakarsai sejak masa Sultan Agung, Raja pertama Mataram Islam, dan terus dilestarikan sebagai simbol kontemplasi, keprihatinan, serta wujud doa kolektif bagi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.
Masyarakat umum diperkenankan mengikuti prosesi ini dengan tetap menjaga kesakralannya: berpakaian sopan dan tertutup, berjalan dalam diam, serta menjaga ketertiban sepanjang rute.
Pemerintah Kota Yogyakarta, bersama Kepolisian dan Dinas Perhubungan, turut berperan dalam mengatur lalu lintas dan kelancaran acara. Melalui pelestarian tradisi ini, diharapkan nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan kebersamaan masyarakat Yogyakarta tetap terjaga di tengah arus modernitas.